Catatan Seorang Dokter (Pasien Atonia Uteri)
Pasien yang baru datang itu adalah seorang ibu muda, dan sejam lalu baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki melalui persalinan normal di bidan dekat rumahnya. Proses persalinan berjalan lancar dan tidak ada kendala. Kondisi ibu dan bayinya juga terlihat normal. Bahkan tidak ada jahitan apapun kali ini. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi sekitar 30 menit pasca melahirkan. Darah tiba-tiba keluar dan tak kunjung berhenti mengalir dari jalan lahirnya. Begitulah penuturan bidan tempatnya melahirkan yang kebetulan ikut mendampingi pasien ke rumah sakit.
Residen jaga rumah sakit segera melaporkan kondisi pasien yang sangat kritis. Badan pasien mulai dingin, kulitnya pucat, nadi melemah, dan mata sudah terlelap layaknya orang yang sedang menemui ajalnya.
“Siapkan kamar operasi..!”, seruku. Sementara kolegaku yang lain sibuk memberikan pertolongan kepada pasien seperti menekan rahim agar berkontraksi dan menyuntikkan obat-obatan yang diharapkan mampu memperbaiki kontraksi rahimnya.
Beberapa menit kemudian, kami menyimpulkan bahwa penyebab pendarahan tersebut adalah *Atonia Uteri karena tidak terdapat perbaikan kontraksi setelah pemberian obat-obatan. Tidak ada jalan lain, dengan kondisi yang tidak stabil dan pendarahan aktif, kami harus melangkah ke kamar operasi. Resiko operasi sangat tinggi, pasien bisa meninggal di atas meja operasi dengan kondisi buruk seperti saat ini. Akan tetapi, bila tidak dilakukan maka hasil akhirnya sudah bisa ditebak.
Setelah berunding dengan tim dokter, Aku berbicara dengan suami pasien itu. Aku jelaskan kondisinya saat ini sangat kritis, dan satu-satunya cara menyelamatkannya adalah menghentikan pendarahan yang terjadi. Berbagai cara sudah kami lakukan, tetapi pendarahan tidak bisa berhenti. Jalan satu-satunya menghentikan pendarahan saat ini hanyalah melakukan operasi untuk mengangkat rahimnya yang menjadi sumber pendarahan.
Ruangan tempat kami berbicara seketika hening setelah penjelasanku berakhir. Sang suami menatapku dengan tatapan kosong. Sepertinya ia syok berat melihat kondisi pasien. Sementara para perawat dan kolegaku di bilik sebelah sudah tak sabar menanti keputusan, apakah sang suami mengizinkan atau tidak. Kami tidak bisa memulai operasi tanpa izin sang suami, padahal setiap detik berlalu dengan sekian tetes darah terbuang percuma. Bahkan lantai ruang UGD mulai banjir darah.
“Anak bapak sudah berapa?” tanyaku. “Tiga” jawabnya singkat. "Itu sudah cukup! Bapak patut bersyukur sudah diberikan 3 anak oleh Allah” jawabku sambil menyodorkan surat persetujuan operasi yang harus segera ditandatangani.
Jarum jam seakan bergerak sangat lambat sampai akhirnya terbuka juga mulut pria malang itu. “Lakukan yang terbaik Dokter… Saya mohon, selamatkan istri saya… Jangan biarkan bayi kami yang baru lahir, dan kedua kakaknya yang masih kecil-kecil kehilangan ibunya…” ujarnya terbata dengan mata berkaca-kaca. Aku tertegun sejenak, “Insya Allah pak, doakan… Hanya Allah yang berhak menentukan nasib hamba-Nya.”
Waktu seakan berlari begitu cepat, sementara kami harus berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan nyawa pasien yang sedang kritis. Kami segera membawa pasien menuju ruang operasi. Operasi pun dimulai pukul 23.10, dan selesai pukul 24.00 Wita. Hampir satu jam lamanya aku dan tim dokter yang menangani operasi. Alhamdulillah, akhirnya kami berhasil mengontrol pendarahan setelah mengangkat rahim dan mengikat beberapa pembuluh darah.
Selang beberapa saat pasca operasi, kondisi pasien tiba-tiba semakin memburuk. Organ tubuhnya seperti ginjal dan jantung tidak berfungsi dengan baik. Semua ditopang dengan obat-obatan. Aku memanggil suaminya, sementara pasien dipindahkan ke ruang ICU. Aku meminta sang suami bersabar dan banyak-banyak berdo’a, semoga kondisi pasien segera membaik dan melewati masa kritisnya. Aku kuatkan hatinya dengan mengatakan bahwa tim dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, selebihnya kita serahkan segala keputusan kepada Allah.
Atas Izin Allah, sebuah keajaiban datang. Kondisi medis pasien tiba-tiba berangsur stabil ketika fajar mulai terbit. Itu adalah hari yang sangat membahagiakan bagi sang suami dan keluarganya karena pasien benar-benar telah lolos dari maut yang sudah di depan mata. Aku pun teringat kata-kata bijak salah seorang guruku “lebih baik hidup tanpa uterus, daripada mati membawa uterus.
*Atonia Uteri adalah pendarahan pasca persalinan akibat kontraksi rahim yang tidak kuat (gagal berkontraksi). Hal itu kemudian menyebabkan aliran darah ke rahim tidak dapat dihentikan. Dalam hitungan menit seorang pasien akan kehabisan darah yang seringkali berujung kematian. Tindakan medis terakhir yang biasa dilakukan untuk menyelamatkan pasien adalah dengan operasi pengangkatan rahim (uterus), yang dalam istilah kedokterannya disebut “Histerektomi”.
(Oktober, 2019).
Note : Cerpen ini adalah kisah nyata istri penulis yang didedikasikan untuk para ibu (perempuan Indonesia) dan juga sebagai ucapan terima kasih kepada dr. Desi, dkk, serta segenap staf perawat RSUD Dr. Raden Soedjono Selong yang telah berusaha memberikan perawatan terbaiknya kepada pasien.
Masyaallah....cerita ini sangat bagus ..untuk menjadi motivasi bagi para perempuan di luar sana ,yg di mana mereka juga mengelami keadaan yg sama.
BalasHapus